Archive for 2009

Orang tua bijak, sahabat anak

Keluarga adalah yang pertama dan utama sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak, karena sebelum anak mengenal lingkungan lain, keluargalah yang terlebih dahulu memberikan pondasi untuk membentuk kepribadian anak. Meskipun demikian, orang tua kadang kurang tepat dalam memperlakukan anak. Memang, untuk menjadi orang tua tidak ada sekolahnya, dengan demikian ketika menjadi orang tua biasanya mereka berkaca dari apa yang telah mereka alami dulu ketika masih anak-anak. Padahal bisa jadi apa yang dialaminya dulu sudah tidak efektif lagi untuk diterapkan saat ini. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini akan dipaparkan bagaimana menjadi orang tua efektif agar anak dapat berkembang dengan baik.

Beberapa hal tersebut adalah :
1. Mau meminta maaf kepada anak jika berbuat salah.
Banyak orang tua tidak mau meminta maaf ketika melakukan kesalahan pada anak, bisa karena gengsi, bisa juga karena sebab yang lain, bahkan orang tua cenderung menyalahkan anak. Contohnya, ketika seorang anak jatuh terpeleset karena lantai yang licin, orang tua mengatakan, “Kamu tidak hati-hati sih, makanya jatuh!”. Tapi ketika orang tua yang terpeleset, seringkali orang tua tidak mengatakan bahwa dirinya tidak hati-hati tetapi cenderung menyalahkan anak. “Kamu sih, main air sembarangan ! mama jadi terpeleset nih!”

2. Mau mengucapkan mengucapkan terima kasih.
Banyak orang tua juga yang tidak mau menucapkan terima kasih setelah meminta pertolongan kepada anak, padahal ketika orang tua mau berterima kasih, anak merasa dirinya dihargai, dan pada akhirnya anak juga akan melakukan tindakan yang sama setelah meminta pertolongan pada orang lain.

3. Menepati jika berjanji.
Seringkali orang tua mengumbar janji hanya sekedar untuk meng”iya”kan keinginan anak. Maka ketika anak menagih janji tersebut orang tua akan kebingungan. Hendaknya orang tua menepati janjinya yang telah disepakati bersama anak, karena jika orang tua selalu mengingkari janji membuat anak tidak percaya kepadanya.

4. Tidak memberikan “label” pada anak.
Dalam keluarga, setiap anak mempunyai nama panggilan berdasarkan kebiasaan waktu kecil. Hal itu pada awalnya tidak dimaksudkan buruk, justru menunjukkan rasa sayang & menerima anak apa adanya. Akan tetapi, tanpa disadari pemberian “label” semacam itu bisa mempengaruhi perkembangan anak karena akan mempengaruhi citra anak terhadap dirinya, dan akhirnya citra semacam itu akan selalu melekat pada dirinya. Jika citra diri itu positif, dampaknya tidak terlalu bermasalah, tetapi jika citra diri itu negatif bisa jadi akan menyebabkan anak menarik diri dari lingkungan atau merasa keterusan untuk memakai “label”itu. Contoh, anak yang mendapat panggilan ‘gendut”, bisa menjadi pemalu dan tidak mau bergaul karena predikat itu. Sementara anak yang mendapat julukan “malas” atau “bodoh” bisa jadi ia tidak akan merubah diri, karena dalam pikirannya berbuat apapun ia toh tetap akan dikatakan sebagai pemalas atau anak bodoh.

5. Senyum dan memberi sentuhan fisik
Senyum adalah sodaqoh, dan anak akan berkembang dengan emosi yang positif ketika orang tua banyak tersenyum kepadanya. Sementara itu ciuman atau belaian singkat juga sangat dianjurkan untuk diberikan pada anak, karena hal itu bisa memberikan rasa aman. Misalnya kita memberikan ciuman saat anak berbuat baik atau ketika ia hendak pergi ke sekolah. Tetapi orang tua perlu sensitif melakukannya, karena bisa jadi anak merasa malu dengan cara orang tua mengekspresikan rasa sayangnya, terutama di hadapan teman-temannya.

6. Lebih baik melakukan tindakan daripada sekedar kata-kata.
“ Ayo, kakak, ini sepatunya ditaruh dimana? Sana taruh di tempatnya ! kenapa bajumu dilempar begitu ?” Demikian, sering terdengar ungkapan para ibu ketika anaknya pulang sekolah. Akan tetapi kata-kata ibu tersebut tidak dibarengi dengan tindakan untuk segera menangani anak. Akan lebih efektif jika ibu bersama-sama dengan anak untuk membereskan semua itu. Misalnya dengan mengatakan, “Ayo kak, mama bantu menaruh barang-barangmu.” sambil melakukan tindakan tersebut.

7. Lebih merespon ketika anak berbuat negative, daripada ketika anak berbuat positif.
Ketika seorang anak seharian tidak rewel atau ketika bangun tidur kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri tidak ada komentar ataupun pujian dari orang tua atas tindakan anak, karena orang tua merasa sudah seharusnya demikian yang dilakukan seorang anak. Akan tetapi ketika anak banyak melakukan tindakan yang negatif, orang tua justru akan meresponnya. Hal ini akan menyebabkan anak cenderung mengulang tindakan negatifnya itu, karena bisa jadi anak berbuat negatif karena ingin mendapatkan perhatian orang tua.

8. Tidak mengucapkan kata “jangan”
“Jangan bermain di luar, di sini saja!’ Demikian, salah satunya larangan orang tua, dan masih banyak lagi jangan- jangan yang lain. Ketika orang tua melarang anak untuk melakukan sesuatu dan mengatakan “jangan!”, dampaknya justru hal itu lebih direspon oleh anak. Karena sesungguhnya anak menjadi penasaran, mengapa ia tidak boleh bermain di luar, sehingga lebih baik jika orang tua mengatakan, “Adik main di dalam saja, di luar udaranya dingin, kan habis hujan!” Dapat dikatakan bahwa larangan akan lebih efektif jika orang tua mengatakannya dalam kalimat positif dengan menjelaskan alasannya.

9. Menghargai pertanyaan anak.
Anak yang banyak bertanya dan bahkan suka “mengganggu” orang tuanya cenderung lebih cerdas daripada anak yang pasif. Akan tetapi ada orang tua yang jengkel ketika anak banyak bertanya karena merasa menganggangu pekerjaannya, yang akhirnyta ia meminta anak untuk berhenti bertanya atau memberikan jawaban yang asal saja. Padahal interaksi anak dan orang tua seperti bermain atau melakukan kegiatan di rumah bersama anak, juga merangsang anak untuk lebih banyak bertanya akan menentukan kecerdasannya. Dengan demikian orang tua hendaknya meladeni pertanyaan-pertanyaan anak dengan jawaban yang dapat diterima sesuai pemahaman anak.

10. Tidak menghukum secara fisik
Orang tua tidak dianjurkan untuk memberikan hukuman fsik kepada anak. Karena ketika pada awalnya hukuman fisik diberikan, seperti dipukul, maka anak akan mengalami kesakitan sehingga ia akan menghentikan perilakunya yang menurut orang tua tidak baik. Akan tetapi lama kelamaan ketika anak dipukul lagi, ia sudah tidak merasakan sakitnya karena sudah terbiasa, sehingga hukuman fisik ini sudah tidak efektif lagi walaupun orang tua sudah meningkatkan cara memberi hukuman, yang membuat anak semakin sakit. Dengan demikian, memukul bukan hanya tidak efektif untuk menerapkan disiplin, tetapi juga bisa melukai harga diri anak dan merugikan hubungan anak-orang tua. Orang tua juga tidak disarankan untuk memarahi anak di muka umum, di hadapan teman-temannya, karena inipun akan melukai harga diri anak. Akan lebih baik jika anak ditegur ketika ia seorang diri.
Jika orang tua dapat menerapkan hal-hal tersebut, dimungkinkan anak dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik, tanpa tekanan, tanpa celaan dan tanpa ketakutan, tetapi hidup dalam lingkungan yang penuh penerimaan dan rasa aman, sehingga ia akan berkembang menjadi pribadi yang positif, karena pada dasarnya anak belajar dari bagaimana ia diperlakukan oleh lingkungannya. Semoga kita termasuk menjadi orang tua dambaan anak-anak.
Minggu, 15 Februari 2009
Tag :

Popular Post

Labels

- Copyright © Smart Mom -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -